Pendahuluan
Pada bagian ini kita kaji tentang
karakteristik komunikasi massa yang oleh banyak orang hanya dibatasi pada
“komunikasi berhadapan dengan massa” atau “komunikasi berhadapan dengan orang
banyak” atau “berpidato di hadapan dengan orang banyak”. Secara konseptual
pemahaman ini kurang pas. Dalam bahasa Inggris, untuk menyebut “komunikasi
berhadapan dengan massa atau publik” ini digunakan istilah “public speaking”
---misalnya, seorang kandidat presiden yang sedang berpidato di hadapan massa
pendukungnya di sebuah lapangan terbuka.
Di sini, dalam studi komunikasi, komunikasi massa selalu dimengerti sebagai
“komunikasi dengan menggunakan media massa”. Jika kita menyebut media massa,
yang ditunjuk surat kabar, majalah atau tabloid, yang dikelompokkan ke dalam
media cetak; atau radio dan televisi, yang keduanya disebut media elektronika.
Media massa juga biasa disebut sebagai “media”, saja. Frasa “komunikasi massa”
kita adopsi dari istilah bahasa Inggris “mass communication”, atau komunikasi
media massa (mass media communication), yang berarti komunikasi dengan
menggunakan media massa atau komunikasi yang “mass mediated”---komunikator tak
dapat bertatap langsung dengan khalayak. Sedangkan istilah “mass media”
(Inggris) atau “media massa” (Indonesia) adalah dari “media of mass
communication”---media yang digunakan dalam komunikasi massa.
Sementara DeFleur & McQuails mendefinsikan komunikasi massa sebagai “suatu
proses melalui mana komunikator-komunikator menggunakan media untuk menyebarluskan
pesan-pesan secara luas dan terus-menerus menciptakan makna-makna serta
diharapkan dapat mempengaruhi khalayak yang besar dan beragam dengan melalui
berbagai macam cara.”
Definisi lain datang dari Littlejohn yang mengatakan “komunikasi massa adalah
suatu proses dengan mana organisasi-organisasi media memproduksi dan
mentransmisikan pesan-pesan kepada publik yang besar, dan proses di mana
pesan-pesan itu dicari, digunakan, dimengerti, dan dipengaruhi oleh audience.”
Ini artinya, proses produksi dan transmisi pesan dalam komunikasi massa sangat
dipengaruhi oleh kebutuhan dan kepentingan audience.
Namun demikian, surat khabar, radio, atau televisi sebenarnya hanya merupakan
alat teknis. Komunikasi massa yang dimaksud di sini bukan semata-mata komunikasi
dengan bantuan teknologi radio, televisi, atau teknik-teknik modern lainnya.
Meskipun teknologi modern selalu digunakan dalam proses komunikasi massa,
tetapi penggunaan alat-alat teknis ini tidak selalu menunjukkan komunikasi yang
disebut komunikasi massa . Peralatan teknis ini tidak bisa dicampuradukkan
dengan “proses” yang akan menjadi bahasan kita di sini. Komunikasi massa,
sebagaimana digunakan di sini, bukan semata-mata suatu sinonim untuk komunikasi
dengan bantuan radio, televisi, atau teknik-teknik modern lainnya. Ilustrasi
berikut bisa lebih menjelaskan hal ini.
Suatu penyiaran televisi oleh stasiun televisi kepada masyarakat luas mengenai
konvensi politik, misalnya, merupakan komunikasi massa; tetapi siaran dalam
sirkuit tertutup di mana operasi-operasi industri dimonitor melalui layar
pesawat televisi oleh seorang ahli mesin, tidak bisa dikatakan sebagai
komunikasi massa. Mengambil contoh yang lebih nyata, film “Pearl Harbour” yang
disiarkan oleh salah satu stasiun televisi kita adalah komunikasi massa, tetapi
rekaman video film mengenai pernikahan anak Pak Noyo dengan putri Pak Genggong
yang diputar di ruang keluarga, bukan komunikasi massa.
Kedua, media di atas menggunakan teknik yang sama---transmisi elektronik dari
gambar di satu fihak, dan perekaman film di fihak lain. Meski begitu, salah
satu diantaranya tidak menerangkan atau menunjukkan komunikasi massa. Bukan
komponen-komponen teknis dari sistem komunikasi modern itu yang membedakannya
sebagai media massa. Komunikasi massa merupakan jenis khusus dari komunikasi
sosial yang melibatkan berbagai kondisi pengoperasian, terutama sifat khalayak,
sifat bentuk komunikasi, dan sifat komunikatornya .
Contoh lain yang relevan adalah telepon. Meskipun telepon membuat orang bisa
berkomunikasi dengan orang lain dengan jarak geografis yang secara teoritis tak
terbatas, tetapi alat komunikasi modern ini juga bukan komunikasi massa.
Telepon bukan komunikasi massa sebab audiensnya tidak dalam jumlah besar dan
tidak beragam---yang merupakan salah satu karakteristik institusi media yang
penting. Orang-orangnya juga bukan komunikator profesional.
Ini berarti, ada beberapa syarat agar suatu format komunikasi disebut
komunikasi massa atau institusi media. Syarat-syarat itu akan memberikan
karakteristik khusus pada institusi media, yang membedakannya dengan format
komunikasi yang lain (misalnya komunikasi antarpersona atau komunikasi
organisasional), dan dengan institusi lain (misalnya dengan institusi
pemerintah, pengadilan, atau keluarga). Memahami media dengan pendekatan
institusional ini dilakukan agar fenomena media yang kompleks ini dapat
dijelaskan secara komprehensif.
PROSES
DALAM KOMUNIKASI MASSA
Dalam komunikasi massa, proses itu tentu disesuaikan dengan medianya. Definisi
yang kita kutipkan di sini menunjukkan, komunikasi massa selalu berhubungan
dengan transmisi dan penyebaran pesan. DeFleur/Dennis, misalnya, mengatakan
“komunikasi massa adalah proses di mana komunikator professional menggunakan
media untuk pesan secara luas, cepat dan kontinyu untuk menimbulkan makna yang
diharapkan pada audience yang besar dan beragam dalam upaya mempengaruhinya
dalam beragam cara.” Hal serupa juga dikatakan Janowitz (1968) : “komunikasi
massa terdiri dari lembaga-lembaga dan teknik-teknik dengan mana
kelompok-kelompok khusus menggunakan peralatan-peralatan teknologi (pers,
radio, film dsb) untuk menyebarkan isi simbolik kepada audience yang banyak
jumlahnya, heterogen dan terpisah-pisah.”
Dari sini kita bisa melihat komponen-komponen dalam komunikasi massa, yang
mencirikan sifat khusus institusi media :
1. “Si pengirim” dalam komunikasi massa selalu merupakan bagian dari sebuah
kelompok yang terorganisir, dan seringkali merupakan anggota dari sebuah
lembaga yang punya fungsi lain selain komunikasi.
2. “Si penerima” selalu seseorang tetapi juga dapat dilihat oleh si pengirim
sebagai suatu kelompok atau kumpulan dengan beberapa atribut umum tertentu.
3. Salurannya, tidak lagi terdiri dari hubungan antar manusia, alat-alat
ekspresi atau pancaindera, tetapi mencakup alat-alat dengan sistem penyebaran
yang berdasarkan teknologi. Sistem-sistem ini tetap memiliki komponen-komponen
social, karena terikat pada hokum, adapt istiadat dan harapan-harapan
masyarakat.
4. Pesan-pesan dalam komunikasi massa bukan merupakan sesuatu yang unik, dapat
diulang-ulang dan seringkali sangat kompleks sifatnya.
Proses komunikasi dalam komunikasi massa berlangsung dengan menggunakan media
massa. Media massa dengan demikian, maka proses ini akan lebih kompleks bila
dibandingkan dengan, misalnya, komunikasi antar persona.
Sementara
DeFleur/Dennis, menunjuk adanya lima tahap proses komunikasi massa (DeFleur,
1988 : 6) :
1. Sebuah pesan diformulasikan oleh
para komunikator professional
2. Pesan dikirim secara cepat dan
kontinyu dengan meneruskannya melalui media.
3. Pesan menjangkau audiens yang luas
dan beragam, yang menyertai media dengan cara yang selektif.
4. Individu anggota audiens
menginterpretasikan pesan dengan cara sesuai dengan makna berdasarkan
pengalamannya yang diharapkan kurang lebih sama dengan yang dimaksud
komunikator professional.
5. Sebagai hasil pengalaman makna ini
anggota audiens dipengaruhi dalam suatu cara bahwa komunikasi memiliki
pengaruh.
Berikut
adalah komponen-komponen proses komunikasi ini :
1. Komunikator professional.
Diantara
beberapa komponen dalam proses komunikasi massa. “komunikator profesional”
memegang peranan penting dalam proses komunikasi massa. Komunikator
professional adalah sebuah tim, yang terdiri dari orang-orang yang berperan
memproduksi proses komunikasi massa. Dengan
demikian, komunikator professional adalah “orang-orang media” itu sendiri atau
dari institusi lain yang membentuk pesan dalam suatu format yang dapat
ditransmisikan melalui media massa. Mereka adalah para spesialis yang memiliki
keahlian khusus di bidangnya, seperti pada produser, editor, reporter,
wartawan, redaktur, dan bagian teknis, yang mengorganisasi, mengedit, dan
menyebarkan informasi, hiburan, drama, dan bentuk isi media yang lain. Umumnya
mereka ada di rumah produksi (production house), perusahaan atau biro iklan.
2. Penjaga Gawang (Gatekeeper).
Komunikator
profesional memiliki fungsi yang dikonsepsikan sebagai “penjaga gawang”
(gatekeeper). Penjaga gawang adalah orang yang---dengan memilih, mengubah, dan
menolak pesan---dapat mempengaruhi aliran informasi kepada seseorang atau
sekelompok penerima. Keputusan penjaga
gawang mengenai informasi mana yang diterima dan ditolak dipengaruhi oleh
banyak variable.
3. Cepat dan Kontinyu.
Tahap
ketiga dari proses komunikasi masa adalah menggerakkan pesan untuk mengatasi
hambatan ruang dan waktu. Dikatakan, media massa dapat mengatasi ruang dan
waktu. Ini berarti, pengiriman pesan-pesan media massa, lebih dari media anatra
personal, dilakukan secara cepat dan menyebar dalam jangkauan yang luas. Pada
media cetak, penyebaran pesan tidak begitu cepat, setidak-tidaknya tidak
secepat media elektronika. Pada media
elektronika kecepatan dan mengatasi hambatan geografis menjadi nomor satu. Dengan teknologi komunikasi, dunia menjadi apa
yang oleh Marshall Mcluhan sebagai ‘global village’. Penyebab utamanya
adalah satelit komuknikasi. Satelit komunikasi menerima, memperkuat, dan
mentransmisi sinyal suara, musik, TV, telepon, telegraf dan data dari titik ke
titik lain di bumi. Wilayah liputannnya mencapai hingga 2/5 permukaan bumi, dan
dapat menhubungkan informasi dari stasiun bumi ke satu atau banyak stasiun bumi
yang lain.
Dikatakan
kontinyu karena media massa bekerja secara ajeg. Ada periodesasi dan terus
menerus. Surat kabar harian terbit setiap hari, majalah terbit setiap bulan,
misalnya. Radio dan televisi menyiarkan program setiap hari, dalam rata-rata
20-an jam.
4.Keragaman Audiens.
Pesan
menjangkau audiens yang luas dan beragam, yang menyertai media dengan cara yang
selektif. Karena sifatnya yang umum, audiens media bisa sangat beragam, tidak
memandang status sosial, tingkat pendidikan, agama, suku, ras, dan segala macam
pengelompokan social. Hal ini terlihat dari, misalnya bahsa yang digunakan.
Sebisa-bisanya bahasa media harus dapat dipahami oleh semua anggota audiens
pada semua tingkat intelektualitas. Pengguaan istilah-istilah teknis ilmiah
misalnya, mencoba dihindari. Meskipun demikian pada kenyataannnya media
mengenal sekmentasi. Sebagai contoh, semua orang tahu bahwa Koran Kompas
mengambil sekmen kelas menengah ke atas, baik secara intelektual maupun
ekonomis. Sementara Pos Kota mengambil sekmen masyarakat bawah. Disamping itu
ada sekmentasi yang didasarkan atas jenis kelamin, usia dan hoby. Ada media
yang ditujukan khusus kepada perempuan (majalan Femina, Tabloid Nova), dan ada
yang khusus untuk laki-laki (Majalah Matra).
Individu
anggota audiens menginterpretasikan pesan dengan cara sesuai dengan makna
berdasarkan pengalamnnnya yang diharapkan kurang lebih sama dengan yang diakui
komunikator professional. Makna ada pada audiens bukan pada komunikator. Oleh
karena itu pesan –pesan media selalu diinterpretasikan oleh audiens
berdasartkan simpanan prengetahuan yang ada pada mremori masing-masing
individu.
Jarang terjadi makna yang dimaksudkan oleh komunikator sama persis dengan makna
hasil interpretasi audiens. Untuk mendekati ’persamaan’ itu, komunikasi harus
berlangsung timbal balik, terjadi dialog. Di sisi lain, makna juga dibentuk
secara social, secara intersubjektif. Ada semacam kontrak sosial dalam suatu komunitas,
dalam sebuah domain kebudayaan, atau dalam sistem sosial. Karena itu, makna
dalam satu budaya tertentu bisa berbeda dengan makna dari komunitas budaya yang
lain.
5. Pengaruh.
Sebagai
hasil pengalaman makna ini anggota audiens dipengaruhi dalam suatu cara, bahwa
komunikasi memiliki pengaruh. Pengaruh komunikasi biasanya dikonsepsikan
sebagai dampak. Baik dalam komunikasi interpersonal, komunikasi organisasional,
komunikasi publik maupun komunikasi massa.
PENGARUH MEDIA
Ada
pengakuan di banyak orang bahwa media massa memiliki pengaruh atau dampak
terhadap audiens. Sebuah berita, misalnya, menyebutkan : seorang anak usia
belasan tahun melakukan perampokan karena beberapa kali menonton film kekerasan
di televise. Dalam kehidupan sehari-hari, fenomena dampak media banyak kita
jumpai. Misalnya, gadis-gadis menggunakan shampoo merk tertentu karena merek
tersebut diiklankan di televise; atau, kita membatalkan pergi ke sebuah kota
karena media massa memberitakan bahwa kota tersebut dilanda kerusuhan. Pernyataan
yang menyimpulkan adanya dampak media, seperti yang tercermin dari contoh kasus
di atas, nampak logis dan benar.
Meskipun
demikian, apa yang dilakukan sebagi dampak media seprti yang terjadi dengan
kasus-kasus semacam itu hanya merupakan perkiraan, atau simplikasi pemikiran.
Kita tak dapat menjawab dengan pasti jika dirtanyakan : benarkah media menjadi
penyebab (tunggal) bagi perilaku tersebut ? Dalam kasus perampokan yang
dilakukan anak, misalnya, muncul pertanyaan : kenapa ribuan anak lain yang juga
menonton program televise yang sama tidak melakukan perampokan?
Dalam
konteks ini, sudah banyak diketahui bahwa hubungan sebab akibat dalam ilmu-ilmu
social tak pernah tunggal. Artinya, sebuah akibat tak pernah disebabkan hanya
oleh sebab tunggal, melainkan oleh banyak sebab. Sebaliknya juga berlaku,
sebuah sebab juga dapat menimbulkan lebih dari satu akibat. Jika kita
mengatakan, atau menyimpulkan, bahwa “Si Bonek” melakukan perampokan disebabkan
oleh seringnya ia menonton film kekerasan di TV, maka kesimpulan ini telah
mengesampingkan dictum dalam ilmu-ilmu social tersebut. Mengesampingkan teori
dan kenyataan bahwa sebuah akibat tak pernah memiliki sebab tunggal,
mengesampingkan bahwa Si Bonek hidup dalam suatu relasi social dengan
factor-faktor yang memungkinkan dan potensial menjadi penyebab perilaku
perampok. Kemiskinan, kesumpekan social, alienasi, misalnya, bisa menjadi
factor-faktor penyebab perilaku perampokan.
Kasus
lain, yang cukup fenomenal, adalah ketika Ronald Reagen terpilih menjadi
presiden Amerika Serikat. Banyak ahli menyimpulkan, mantanm bintang film ini
terpilih menjadi presiden karena factor media. Reagen memanfaatkan media massa,
terutama televise, untuk menciptakan citra tertentu tentang dirinya. Sebagai
seorang mantan bintang film, ia mampu “berakting” demikian rupa sehingga
terbentiuk citra tertentu itu : meyakinkan khalayak bahwa ia layak menjadi
presiden. Ia mengeksploitasi media untuk kepentingan itu karena memahami dan
yakin akan kekuatan media.
Yang
lain dikatakan dengan ilustrasi ini adalah, ada kompleksitas yang menyelimuti
media massa ketika kita berbicara soal dampak media. Ada banyak factor yang
ikut andil ketika kita menyimpulkan bahwa sebuah perilaku dipengaruhi oleh
media.
1 Perspektif Historis
McQuail selanjutnya membedakan perkembangan itu menjadi tiga
tahapan:
a.
Tahapan
pertama, merentang dari awal abad ke sembilan belas hingga akhir tahun 1930-an.
Media yang berkembang ketika itu memiliki pengaruh yang cukup untuk membentuk
opini dan keyakinan, serta mengubah kebiasaan hidup. Pandangan seperti ini
tidak didasarkan atas kajian ilmiah, tetapi atas dasar pengamatan terhadap
kepopuleran pers, media film, dan media radio yang baru, serta pengaruhnya
dalam banyak aspek kehidupan sehari-hari. Keyakina tersebut dianut bersama dan
diperkuat oleh para pengiklan dan petugas propaganda pemerintah selama Perang
Dunia I. Di Eropa, penggunaan media oleh negara-negara dictator selamanya
terjadinya perang tampaknya menegaskan hal-hal yang cenderung telah diyakini
orang-orang—bahwa media dapat sangat berpengaruh.
b.
Tahap
kedua, dimulai dengan serangkaian studi Payne Fund di Amerika Serikat pada awal
tahun 1930-an, yang berlanjut hingga awal tahun 1960-an. Banyak studi terpisah
yang dilakukan tentang dampak jenis isi, terutama film atau program-program
dalam kampanye secara kreseluruhan. Jenis studi yang diselenggarakan sangat
beragam, tetapi perhatian dipusatkan pada kemungkinan penggunaan film dan media
lainnya untuk keperluan persuasi aktif atau penyebaran informasi, atau untuk
menilai, dengan tujuan pencegahan, dampak yang merusak dal;am kaitannya dengan
pelanggaran hukum, prasangka, agresi, rangsangan seksual. Ikhtisar atas hasil
penelitian yang dilakukan Joseph Klapper menyimpulkan “komunikasi massa
biasanya tidak berfungsi sebagai penyebab dampak audiens yang perlu dan
memadai, melainkan berfungsi melalui serangkian factor yang menengahi.”
Persoalannya bukan karena media telah terbukti tidak memiliki dampak, dalam
semua kondisi, tetapi karena media beroperasi dalam struktur social yang telah
ada serta dalam konteks social dan budaya tertentu. Faktor social dan budaya
ini memiliki peran penting dalam membentuk pilihan, perhatian, dan tanggapan
dari audiens.
c.
Tahap
ketiga, yang sekarang masih berlangsung, merupakan tahap di mana dampak dan kemungkinan
dampak masih sedang ditelaah dengan tanpa menolak kesimpulan penelitian
sebelumnya, tetapi didasarkan atas perbaikan konsepsi tentang proses sosial dan
media yang mungkin terlibat. Pengkajian terdahulu sangat bersandar pada model
yang menelaah korelasi antara kadar “pendedahan” (exposure) isi tertentu dan
perubahan atau variasi sikap, opini, atau informasi yang diukur. Pembaruan
penelitian dampak ditandai dengan adanaya pergeseran perhatian ke arah :
perubahan jangka panjang: kognisi ketimbang sikap dan afeksi; peran yang
dimainkan oleh isi, disposisi, dan motivasi sebagai variable sela (intervening
variabel); gejala kolektif seperti iklim opini, struktur keyakinan, ideology,
pola budaya bahkan bentuk-bentuk kelembagaan.
2.
Jenis Dampak Media
Dari beberapa ilustrasi di atas kita mengetahui bahwa dampak
media berhubungan dengan perubahan, perubahan yang terjadi pada audiens setelah
membaca, mendengar, atau menonton media massa. Dengan deminikan kita bisa
mendefinisikan dampak media sebagai : “akibat yang diterima audiens setelah menerima
pesan dari komunikator.” Namun sebenarnya dampak media tidak hanya disebabkan
oleh pesan media. Media kita lihat fenomenanya. Pak Amat sering bangun
kesiangan karena menonton televisi sampai larut malam. Seorang ibu mengeluh
karena harus mambayar listrik lebih tinggi sejak membeli pesawat televisi. Dua
fenomena ini merupakan dampak media, tetapi bukan karena pesan media, melainkan
karena kehadiran televisi. Jadi, dampak media juga berhadapan dengan kehadiran
media.
Stephen H. Chaffee, yang dikutip Jalaluddin Rachmat
(1985:217), menyebut lima hal yang berhadapan dengan dampak kehadiran media
ini, yakni:
a.
Efek ekonomis, dengan hadirnya surat khabar, akan
menghidupi para loper Koran, berkembangnya perusahaan percetakan. Dampak yang
lebih luas, baik kehadiran media cetak maupun media elektronik, akan
menumbuhkan industri ikutan seperti biro iklan, rumah produksi, yang tentunya
akan menciptakan lapangan kerja baru.
b.
Efek sosial. Dulu, ketika televisi masih langka
di pedesaan, orang yang memiliki televisi akan meningkat status sosialnya.
Karena masih jarang yang memilikinya, orang0-orang akan berkumpul di rumah
pemilik televisi untuk menonton kotak ajaib ini. Di sini tercipta solidaritas
sosial.
c.
Efek pada penjadwalan kegiatan. Mungkin kita pernah menyaksikan
bagaimana ibu-ibu rumah tangga sangat menggemari telenovela. Karena
penayangannya pada sekitar pukul 17.00 bersamaan dengan jam arisan, maka
kelompok ibu-ibu ini mengiubah jam arisannya. Maka, kehadiran televisi telah
mengubah jadwal kegiatan. Di luar itu, kegiatan televisi telah mengubah, lebih
tegasnya, mengurangi jam kegiatan lain. Gejala semacam itu oleh Joyce Cramond disebut sebagai “displacement effects” (efek alihan)
yakni reorganisasi kegiatan yang terjadi karena masuknya televisi: beberapa
kegiatan dikurangi dan beberapa kegiatan lainnya dihentikan sama sekali karena
waktunya dipakai untuk menonton televisi (Jalaludin Rachmad, 1985:218).
d.
Efek pada penyaluran/penghilangan
perasaan tertentu.
Orang menonton televisi, mendegarkan radio, atau membaca koran seringkali
merupaka perilaku “bagitu saja” tanpa tujuan. Katika anda lelah atau tidak bisa
tidur di malam hari, anda menghidupkan pesawat televisi tanpa anda peduli pada
apa materinya. Anda mungkin sedang menghilangkan kesepian, rasa marah, atau
bingung.
e.
Efek pada perasaan orang terhadap
media. Anda mungkin menyenangi televisi,
karena membuat anak-anak betah di rumah, tidak bermain di luar rumah. Tetapi
mungkin juga tumbuh perasaan “benci” terhadapnya, karena membuat anak lebih
“patuh” pada televisi ketimbang terhadap orang tua. Pernyataan sinis ini untuk
menunjukkan bagaimana orang tua modern begitu sibuk sehingga menonton program
di televisi.
3. Faktor-Faktor
Yang Memperkuat Dampak Media.
Banyak faktor yang membuat media menimbulkan dampak bagi
khalayak.:
•
Faktor Pertama adalah seberapa sering orang
terlibat dengan media dalam hal menonton (televisi), mendengar (radio), atau
membaca (koran). Atau diluruskan oleh para ahli komunikasi sebagai “media
exposure” (terpaan media). Anda
barangkali hanya perlu menonton televisi selama dua jam per hari, dan yang anda
tonton adalah program berita. Tetapi, orang, terutama anak-anak, yang menonton
televisi samapai lebih dari tujuh jam per hari. Anda termasuk dalam kategori
rendah media exposure-nya, sementara anak-anak diketegorikan tinggi tingkat
media exposure-nya. Perbedaan tingkat media exposure ini tentu membawa perbedaan
dalam menimbulkan dampak. Jika seseorang terlalu banyak menonton program
kekerasan di televisi, dampaknya akan lebih kuat ketimbang yang jam tontonnya
lebih rendah. Anak-anak sering mendendangkan jingle iklan ketika di kamar
mandi, karena seringnya jingle tersebut ditayangkan TV. Pada fenomena lain,
orang yang terlalu sering menonton program kekerasan televisi akan merasa bahwa
dunia ini penuh kekerasan. Program kekerasan yang terlalau sering ditayangkan
TV membuat orang membuat generalisasi bahwa apa yang ditampiulkan TV sama
dengan realitas empirik yang sesungguhnya.
•
Faktor kedua adalah kredibilitas. Dalam komunikasi,
pesan itu penting tetapi siapa (komunikator) yang menyampaikan pesan tak kalah
pentingnya. Informasi tentang bahaya penyakit AIDS akan lebih dipercaya
masyarakat kita disampaikan oleh seorang dokter ketimbang disampaikan oleh
seorang politikus. Dimata masyarakat, dalam hal aids, dokter lebih kredibel
dibandingkan seorang politikus. Kredibilitas di sini menyangkut
kompetensi—dokter lebih kompeten.
Di bidang politik, dalam pemilihan presiden, banyak pemberi suara yang membawa
kepada kampanye pemilihan konsepsi tentang sifat-sifat yang paling diinginkan
kepada pemegang jabatan pemerintah. Citra tentang pemegang jabatan yang ideal
ini memberikan garis besar, atau standar, yang digunakan oleh pemberi suara
untuk dibandingkan dan menilai sifat-sifat yang dipersepsinya pada kandidat
yang benar-benar mencalonkan diri untuk jabatan. Beberapa studi melaporkan,
para pemilih mencari sifat abstrak seperti kedewasaan, kejujuran, kesungguhan,
kekuatan, kegiatan dan energi. Gabungan ini sebenarnya merupakan gabungan sifat
hero, dengan dimensi kepribadian yang kuat (Nimmo dan Savage, dalam Nimmo, 1989
: 210). Kepribadian ini menjadi faktor utama tumbuhnya kedibilitas seorang
calon presiden.
Dalam kaitannya dengan kredibilitas ini, studi lain, yakni studi Miller dan
Jackson (1976) menemukan, pertama, struktur citra rakyat tentang pemegang
jabatan sangat stabil, dan memiliki dimensi-dimensi yang jelas, termasuk
bagaimana orang membayangkan sifat pribadi. Latar belakang profesional,
afiliasi partai, dan pendirian ideologis kandidat yang ideal; kedua,
perbandingan citra ideal pemberi suara dengan persepsi mereka tentang kandidat
pada dimensi-dimensi sifat personal dan latar belakang profesional menyajikan
perkiraan yang akurat tentang hasil pemilihan umum (dalam Nimmo, 1989 : 210).
Ini juga masalah kepribadian, yang kemudian menjadi faktor kredibilitas.
Faktor ketiga adalah konsonansi (kesesuaian). Anda mungkin pernah merasakan,
bahwa ada tokoh yang anda sukai di samping yang tidak disukai. Untuk tokoh yang
tidak anda sukai, begitu muncul di televisi, misalnya, setiap pesan yang
disampaikan tidak pernah sampai ke memori anda. Anda memiliki predisposisi
untuk menolaknya, karena tidak adanya ketidaksesuaian antara pesan yang datang
dengan informasi yang ada dalam memori anda. Sebaliknya, pada tokoh yang anda
sukai, pesan darinya akan mudah anda terima, karena sudah ada kesesuaian antara
pesan yang datang dengan simpanan informasi di memori anda.
Faktor keempat, adalah signifikansi. Dalam media massa, ada informasi yang
penting dan sangat berarti bagi anda, tetapi ada yang tidak. Jika anda seorang
penggemar ikan hias, maka informasi tentang kenaikan harga makanan ikan hias
akan anda anggap penting, lebih panting dari informasi mengenai perubahan
kurikulum, misalnya. Informasi yang signifikansinya bisa berlaku lebih luas,
dan bisa pada khalayak. Informasi mengenai kenaikan harga bahan bakar akan
memiliki signikansi luas sehingga juga berdampak pada khalayak luas.
Faktor kelima adalah sensitif. Di jaman Orde Baru dulu, ada istilah yang amat
populer, yakni stabilitas nasional. Media massa selalu diwanti-wanti agar tidak
memuat berita-berita yang sensitif, yang dapat mengganggu stabilitas nasional.
Berita-berita yang dianggap sensitif itu adalah mengenai SARA. Berita sensitif
akan berdampak besar dan luas, karena sedikit kesalahan saja akan membawa
dampak pada hubungan sosial, konflik, dan kerusuhan.
Faktor berikutnya berhubungan dengan situasi kritis. Ketika terjadi krisis
politik di tahun 1998, ada kesimpangsiuran informasi tentang reformasi.
Masyarakat sulit membedakan informasi yang bisa dipercaya dan informasi yang
hanya gosip. Dalam situasi kritis demikian, dampak sebuah informasi akan besar.
Misalnya, informasi tentang siapa yang benar-benar reformis, informasi tentang
siapa yang berkuasa, akan memiliki dampak besar bagi khalayak.
Faktor lain yang juga penting adalah dukungan komunikasi antarpribadi. Dalam
teori ”komunikasi dua tahap” (two step flow), dikatakan bahwa komunikasi massa
sering tidak efektif. Dalam berbagai penelitian terbukti, komunikasi massa akan
lebih efektif bila disertai dan didukung komunikasi antarpersona.
FUNGSI KOMUNIKASI MASSA
Pentingnya media massa di masyarakat, menurut Denis McQuail, adalah di samping
merupakan industri yang terus berkembang—dengan menciptakan tenaga kerja serta
menghidupi industri lain—juga karena media merupakan sumber kekuatan (Mc Quail,
1989 :3). Di luar itu media merupakan forum untukmenampilkan berbagai
peristiwa, menjadi wahana pengembangan kebudayaan, serta sumber dominan bagi
orang untuk memperoleh ganbaran tentang realitas sosial. Ini yang membuat studi
tentang komunikasi massa menjadi semakin banyak diminati.
Di antara ahli komunikasi yang teorinya tentang fungsi media banyak dikutip,
Harold D. Lasswell barangkali menempati tempat utama. Menurut Laswell, ada 3
(tiga) fungsi media massa, yakni (1) pengawasan lingkungan, (2) korelasi antar
bagian masyarakat dalam menanggapi lingkungan, dan (3) transmisi warisan sosial
dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Ketiga aktivitas ini biasanya
ditambah dengan fungsi keempat, yakni (4) hiburan.
Pengawasan, menunjukkan pengumpulan dan distribusi informasi mengenai
kejadian-kejadian yang berlangsung di lingkungan, baik di dalam maupun di luar
masyarakat tertentu. Dalam banyak hal, fungsi ini berhubungan dengan
“penanganan berita”. Tindakan korelasi meliputi interpretasi informasi mengenai
lingkungan dan pemakaiannya untuk berperilaku dalam reaksinya terhadap
peristiwa-peristiwa tadi. Aktivitas ini dikenal sebagai editorial atau propaganda.
Sedang transmisi warisan sosial berfokus pada komunikasi pengetahuan,
nilai-nilai, dan norma-norma sosial dari generasi ke generasi lain atau dari
anggota-anggota satu kelompok kepada pendatang baru. Kita sering menyebutnya
sebagai fungsi pendidikan. Fungsi hiburan berhubungan dengan hiburan massa,
yang digambarkan para kritikus kebudayaan sebagai “hiburan massa adalah
disfungsional selama ia gagal menimbulkan atau menumbuhkan selerapublik sampai
pada tingkatan yang mungkin dicapai oelh bentuk-bentuk hiburan yang kurang
meluas seperti teater, opera, dan drama-drama klasik.”
Ada satu fungsi lagi yang ditambahkan di sini, yakni fungsi mobilisasi. Menurut
Denis McQuails, fungsi ini berhubungan dengan upaya “mengkampanyekan tujuan
masyarakat dalam bidang agama.” Fungsi mobilisasi agaknya yang paling relevan
dengan permasalahan yang mencoba menghubungkan peranan pers dengan upaya
mewujudkan pemerintahan yang baik.
McQuails sendiri memerinci fungsi media lebih detail lagi (McQuail, 1989:70).
Menurutnya ada fungsi media bagi maasyarakat dan ada pula fungsi bagi individu.
Fungsi utama media bagi masyarakat terdiri dari fungsi informasi, fungsi
korelasi, fungsi kesinambungan, hiburan, dan mobilisasi. Fungsi informasi
meliputi : menyediakan informasi tentang peristiwa dan kondisi dalam masyarakat
dan dunia; menunjukkan hubungan kekuasaan; memudahkan inovasi, adaptasi, dan
kemajuan.
Sedangkan fungsi korelasi meliputi : menjelaskan, menafsirkan, mengomentari
makna peristiwa dan informasi; menunjang otoritas norma-norma yang mapan;
melakukan sosialisasi; mengkoordinasi beberapa kegiatan; membentuk kesepakatan;
menentukan urutan prioritas dan memberikan status relatif. Fungsi kesinambungan
terdiri dari : mengekspresikan budaya dominan dan mengakui keberadaan kebudayaan
khusus (subculture) serta perkembangan budaya baru; meningkatkan dan
melestarikan nilai-nilai.
Fungsi Hiburan meliputi menyediakan hiburan, pengalihan perhatian, dan sarana
relaksasi; meredakan ketegangan sosial. Fungsi mobilisasi adalah
mengkampanyekan tujuan masyarakat dalam bidang politik, perang, pembangunan
ekonomi, pekerjaan, dan kadang kala juga dalam bidang agama.
Sedangkan
fungsi media bagi individu adalah :
Informasi
>> Mencari berita tentang peristiwa dan kondisi yang berkaitan dengan
lingkungan terdekat, maysrakat dan dunia.
>>Mencari bimbingan menyangkut berbagai masalah praktis, pendapat, dan
hal-hal yang berkaitan dengan penentuan pilihan
>>Memuaskan rasa ingin tahu da minat umum
>>Mengidentifikasi diri sendiri
>>Belajar, pendidikan diri sendiri
>>Memperoleh rasa damai melalui penambahan pengetahuan.
Identitas pribadi
>> Menemukan penunjang nilai-nilai pribadi
>> Menemukan model perilaku
>> Mengidentifikasikan diri dengan nilai-nilai lain (dalam media)
>> Meningkatkan pemahaman tentang diri sendiri
Integrasi
dan Interaksi Sosial
>> Memperolah pengetahuan tentang keadaan orang lain : empati sosial
>> Mengidentifikasikan diri dengan orang lain dan meningkatkan rasa
memiliki
>> Menemukan bahan percakapan dan interaksi sosial
>> Memperoleh teman selain dari manusia
>> Membantu menjalankan peran sosial
>> Memungkinkan seseorang untuk dapat menghubungi sanak keluarga, teman,
dan masyarakat.
Hiburan
>> Melepasakan diri atau terpisah dari permasalahan
>> Bersantai
>> Mengisi waktu
>> Penyaluran emosi
>> Membangkitkan gairah seks.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar